Kerap kali kita mendengar istilah autopsi forensik saat menyaksikan tayangan berita televisi, maupun pada bacaan di koran saat ada kabar kematian terutama pembunuhan. Meskipun istilah itu tidak asing pada telinga kita, namun tidak banyak orang yang memahami betul maksud istilah tersebut.
Istilah yang digunakan dalam kriminal banyak dipahami sebatas pemeriksaan pada mayat korban untuk mengetahui penyebab kematian korban. Lantas apa sebetulnya autopsi forensik, bagaimana prosedurnya, dan adakah peran ilmu antropometri di dalamnya? Mari kita ulas bersama.
Apa itu Autopsi Forensik?
Istilah autopsi sendiri berasal dari kata autopsia yang berarti pembedahan mayat, sedangkan forensik dalam KBBI adalah cabang ilmu kedokteran yang berhubungan dengan penerapan fakta medis pada masalah hukum.
Berangkat dari pengertian tersebut didapatkan bahwa autopsi forensik berarti pemeriksaan menyeluruh pada mayat korban untuk kepentingan proses penyidikan. Pemeriksaan dimulai dari bagian luar tubuh, hingga ke organ dalam, dengan tujuan untuk mendeteksi bekas luka demi mengetahui penyebab kematian demi menegakkan hukum.
Lebih jauh mengenai forensik, pemeriksaan biasanya dilakukan karena adanya dugaan jenazah meninggal dengan penyebab yang tidak wajar. Tidak wajar dalam hal ini dapat berupa akibat tusukan benda tajam, benturan benda tumpul, hingga bekas tembakan senjata api.
Meninjau Autopsi Forensik dari Pandangan Hukum
Kalau kamu ingat kasus tempo hari, seorang mahasiswa bernama Gilang meninggal saat menjalani Pendidikan dan Pelatihan Dasar (Diklatsar) yang diselenggarakan Resimen Mahasiswa UNS dimana kasusnya menuai perdebatan seputar penyebab pasti kematian Gilang, hingga akhirnya hasil autopsi keluar dan menyatakan bahwa ia meninggal akibat tindak kekerasan. Lantas bagaimana hukum mengatur proses autopsi forensik ini?
Di Indonesia sendiri pelaksanaan autopsi forensik didasari oleh ketentuan mengika yang diatur dalam sejumlah dasar hukum autopsi forensik yakni KUHAP 133, KUHAP 134, dan KUHP 222.
Pasal 133 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau KUHAP, menyatakan “Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan, ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya.”
Pasal 134 ayat 1 KUHAP, mengenai pemeriksaan mayat memerlukan konsen keluarga korban “Dalam hal sangat diperlukan dimana untuk keperluan pembuktian bedah mayat tidak mungkin lagi diindari, penyidik wajib memberitahukan terlebih dahulu kepada keluarga korban”
Pasal 222 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau KUHP, “Barangsiapa dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi atau menggagalkan pemeriksaan mayat untuk lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.”
Prosedur Pelaksanaan Autopsi Forensik
Setelah ketentuan yang diatur dalam dasar hukum tadi terpenuhi, maka dokter forensik telah mengantongi izin penuh untuk melaksanakan prosedur autopsi forensik.
1. Pemeriksaan Eksternal
Pemeriksaan forensik dimulai dengan mengidentifikasi mayat korban, atau disebut juga sebagai pemeriksaan eksternal. Mengukur dimensi tubuh mayat atau antopometri dan mengamati karakteristik tubuh mayat, untuk menemukan adanya bekas luka atau tanda lain yang mengisyaratkan penyebab kematian.
2. Pemeriksaan Internal
Setelah selesai melakukan pemeriksaan eksternal, dilanjutkan dengan pemeriksaan internal. Di tahap inilah dilakukan bedah untuk memeriksa organ dalam mayat. Organ yang diperiksa kemudian ditimbang dan diamati. Isi perut dan organ pencernaan juga menjadi salah satu yang diamati, karena bisa saja penyebab kematian berasal dari makanan yang dikonsumsi.
Lebih lanjut, organ yang sudah diamati akan dikembalikan ke tempat semula. Prosesnya memakan waktu selama dua hingga tiga jam. Tak lupa selama autopsi forensik dilaksanakan diambil dokumentasinya, dokter forensik juga diwajibkan untuk melaporkan semua hasil autopsi forensik sebagai bukti konkret yang dapat dipertanggungjawabkan.
Ilmu Antropometri dalam Autopsi Forensik
Dalam melaksanakan prosedur autopsi forensik diperlukan pengukuran dimensi tubuh manusia atau Antropometri. Proses pengukuran ini memainkan peran yang cukup krusial dalam menyimpulkan hasil autopsi forensik.
Pada pemeriksaan eksternal atau identifikasi terjadi proses pengukuran guna mendeteksi tanda-tanda tak wajar, demi hasil forensik yang akurat. Maka itu, diperlukan pula pengukuran yang presisi. Pengukuran presisi tentu tak bisa diperoleh hanya dengan mengandalkan alat-alat manual yang kurang berkualitas, diperlukan alat ukur penunjang dengan tingkat akurasi tinggi.
Seberapa Penting Antropometri dalam Autopsi Forensik
Antopometri adalah salah satu metode pengukuran bagian tubuh dari antropologi forensik. Menurut American Board of Forensic Antropology atau ABFA, antropologi forensik adalah cabang ilmu antropologi fisik dan biologi yang berkaitan dengan hukum (medico-legal)
Tinggi badan adalah karakteristik utama dalam proses identifikasi mayat. Sementara dalam antropologi forensik, tinggi badan adalah salah satu profil biologis yang wajib diketahui. Berangkat dari pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa antropometri atau pengukuran dimensi tubuh manusia adalah langkah yang amat krusial dan wajib dijalani selama proses autopsi forensik dilaksanakan.
Dapat disimpulkan bahwa ilmu Antropometri memegang peran yang penting dalam proses autopsi forensik. Karenanya perlu untuk memberikan perhatian lebih pada proses pengukuran beserta alat ukurnya agar hasil pengukuran akurat dan presisi. Itulah informasi yang bisa kami sampaikan, semoga dapat membantu mengurangi kebingunganmu ya, sampai jumpa di artikel selanjutnya!